METODE MENCINTAI NABI SAW.
Islam adalah sebuah agama sekaligus jalan hidup yang unik. Al-Quran dan as-Sunnah, yang menjadi landasan dalam berkehidupan, secara jelas direpresentasikan secara utuh oleh pribadi Rasulullah Muhammad saw. Artinya, Muhammad merupakan gambaran utuh dan praktis tentang Islam. Tidak ada satu pun rangkaian pesan Islam yang tidak direpresentasikan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Jadilah beliau manusia paling agung sepanjang sejarah penciptaan manusia.
Kemuliaan dan keagungan Rasulullah saw. adalah suatu keniscayaan. Karena itu, mencintai beliau juga merupakan keniscayaan. Kecintaan kepada beliau sejatinya tidak berhenti pada tataran batiniah (kalbu), tetapi harus melampui gerak lahiriah, yaitu dengan mengikuti segenap perilaku beliau dari perkara yang paling sederhana sampai pada perkara yang besar dan rumit. Kecintaan kepada beliau juga tidak boleh diekspresikan sebatas dalam tataran ritual, moral, dan personal semata; ia harus termanifestasikan pula dalam seluruh aspek kehidupan—mencakup bidang ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dan kenegaraan. Semua itu harus kita wujudkan sebagai wujud kecintaan dan pengagungan kita kepada beliau.
Pengagungan dan rasa cinta yang parsial kepada Rasulullas saw., yang hanya sebatas pada aspek ritual dan moral, adalah tindakan mengebiri keagungan sosok Rasulullah saw.
Kewajiban Mencintai Nabi saw.
Karena Nabi saw. adalah manusia—bahkan makhluk—teragung, sejatinya kecintaan kepada beliau juga harus menempati kedudukan yang paling tinggi—tentu setelah kecintaan kepada Allah Swt.—dibandingkan dengan kecintaan kepada selain beliau. Dengan kata lain, seseorang belum dikatakan sungguh-sungguh mencintai Rasulullah saw. jika ia masih menomerduakan kecintaan kepada beliau di bawah kecintaan kepada selain beliau.
Namun demikian, bagi seorang Muslim, kecintaan pada semua itu sejatinya tidak mengalahkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Artinya, ia akan selalu mendudukkan rasa cintanya kepada Rasulullah pada urutan pertama—tentu setelah rasa cintanya kepada Allah Swt.
Mari kita merenungkan firman Allah Swt. berikut:
Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, dan kaum keluarga kalian; juga harta dan kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya." Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24).
Firman Allah di atas sekaligus merupakan dalil bahwa seorang Muslim wajib mendudukkan kecintaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya pada urutan teratas. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ini sekaligus menjadi parameter untuk menakar kadar keimanan seorang Muslim.
Lebih dari itu, manisnya iman akan dirasakan seorang Muslim jika dia telah menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada ragam kecintaannya kepada sekelilingnya. Rasulullah saw. telah bersabda:
"Ada tiga perkara, siapa yang memilikinya, ia telah menemukan manisnya iman: (1) orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lainnya; (2) orang yang mencintai seseorang hanya karena Allah; (3) orang yang tidak suka kembali pada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka." (HR Muttafaq ‘alaih).
"Tidak beriman seorang hamba hingga aku lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia yang lainnya." (HR Muttafaq ‘alaih).
Bahkan, pengampunan dosa dari Allah hanya akan terwujud dengan bersungguh-sungguh mencintai Rasulullah saw., dan kecintaan kepada Allah belum teruji jika manusia tidak sungguh-sungguh mencintai Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman:
"Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’." (QS Ali Imran [3]: 31).
Kesungguhan dalam mencintai Rasulullah saw. ini telah terpatri kuat dalam pribadi para sahabat. Merekalah orang-orang yang berlomba-lomba dan bersungguh-sungguh mewujudkan kecintaan ini. Secara praktis hal itu diwujudkan dengan cara mengikuti dan meneladani Rasulullah saw., sekaligus dengan menaati seluruh perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Hal itu antara lain didasarkan pada firman Allah Swt. berikut:
"Apa saja yang dibawa oleh Rasul untuk kalian, ambillah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah." (QS al-Hasyr [59]: 7).
Tidaklah yang diucapkan Rasul itu berdasarkan hawa nafsu; sesungguhnya semuanya tidak lain kecuali merupakan wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS an-Najm [53]: 3-4).
Hakikat Mencintai Nabi saw.
Dalam kitab Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, al-Azhari berkata, "Arti cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya."
Al-Baidhawi berkata, "Cinta adalah keinginan untuk taat."
Al-Zujaj juga berkata, "Cinta manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati keduanya serta meridhai segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah saw."
Cinta dalam arti yang dimaksudkan di atas adalah kewajiban. Sebab, mencintai Allah dan Rasul-Nya terikat dengan pengamalan syariat yang telah diwajibkan oleh keduanya. Artinya, ketika seorang Muslim menyatakan bahwa kecintaannya yang tertinggi adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dia wajib untuk mengekspresikan kecintaannya itu dengan meneladani segala perilaku beliau dalam segala aspek kehidupan. Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (QS al Ahzab [33]: 21).
Metode Mencintai Nabi saw.
Rasa cinta kepada Rasulullah saw. sangat dangkal kalau hanya diungkapkan dalam acara-acara ritual seperti peringatan mengenang kelahiran beliau. Kecintaan semacam ini tidak bermakna apa-apa jika dalam aspek kehidupan nyata, ajaran yang dibawa oleh beliau justru banyak ditinggalkan. Bagaimana mungkin seseorang dikatakan mencintai Rasulullah, sementara teladan kehidupan real dia ambil dari selain Rasulullah—dalam berekonomi dia meneladani Adam Smith dan David Richardo; dalam berpolitik dia merujuk kepada Machievelli dan Mountesque; dalam kehidupan sosial dan perubahan masyarakat dia mencontoh konsep Karl Marx, Lenin, dan Stalin; dalam pendidikan dan psikologi di berkaca pada teori Sighmund Freud; dst. Padahal, hanya Rasulullahlah yang layak dijadikan teladan pada semua aspek di atas.
Kecintaan dan pengagungan kita kepada Rasulullah saw. mengharuskan kita untuk menyelaraskan semua hal yang terkait dengan pribadi maupun sosial kita dengan tuntunan Rasulullah saw. Meneladani Rasulullah saw. dalam ibadah mahdhah diwujudkan dalam bentuk ketundukan dalam menjalankan dan memelihara shalat—misalnya—sesuai dengan tuntunan beliau. Rasulullah bersabda:
"Shalatlah kalian, sebagaimana aku shalat." (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. adalah sosok yang berakhlak agung dan mulia, yang layak kita tiru. Siti Aisyah ra., ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau menjawab, "Akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran itu sendiri." (HR Muslim dan Abu Dawud).
Perlu dicatat, ada perbedaan mendasar antara akhlak dan moral. Akhlak adalah terminologi Islam dengan landasan niat dari Allah dan Rasul-Nya serta bernilai pahala di sisi-Nya. Sebaliknya, moral bersifat umum, yang dorongannya kadang-kadang dari humanisme yang belum tentu muncul dari perintah Allah dan Rasul-Nya. Sikap moral belum dapat menjamin akan mendapatkan pahala dari Allah dan Rasul-Nya bagi pelakunya.
Kecintaan kita kepada Rasulullah saw. juga harus kita wujudkan dalam cara berpakaian, makan, dan minum kita. Allah dan Rasul-Nya mewajibkan seorang Muslim dan Muslimah untuk berpakaian yang menutup aurat. Aurat bagi laki-laki adalah dari bawah lutut hingga atas pusarnya, sementara aurat seorang wanita adalah seluruh anggota tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangannya. Allah dan Rasul-Nya juga mewajibkan kaum Muslim untuk makan dan minum dari barang yang halal dan baik (thayyib), jika mereka memang mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dalam berkeluarga, selayaknya seorang Muslim menjadikan Rasul sebagai contoh bapak rumah tangga yang baik. Seorang suami adalah pemimpin yang harus melindungi keluarganya dari sengatan api neraka. Sebagai seorang suami, Rasulullah adalah laki-laki yang sangat mencintai dan menyayangi istri-istrinya. Beliau telah menyatakan rasa kecintaan ini pada hadisnya:
"Telah ditanamkan padaku rasa cinta kepada wanita, wewangian, serta dijadikan mataku sejuk terhadap shalat." (HR an-Nasa’i).
Dalam kehidupan sosial, Rasulullah saw. juga wajib kita jadikan teladan. Rasul bukanlah tipe individualis yang hanya memikirkan dirinya sendiri; bukan pula manusia yang suka berdiam di rumah seraya memisahkan diri dengan masyarakat sekitar. Kondisi ini tidak selaras dengan misi beliau sebagai pembawa risalah bagi umat manusia. Beliau bergaul dengan masyarakat dari kalangan atas maupun bawah. Kondisi demikian bisa kita lihat dari kunjungan beliau kepada Ibn Anas bin Malik, juga Qais bin Saad bin Ubadah di rumahnya, lalu beliau bedoa untuk mereka. Beliau juga mengunjungi Rubayyi’ binti Muawwidz ketika Rubayyi’ menikah. Ragam kunjungan beliau ke berbagai lapisan masyarakat seharusnya menjadi teladan kita dalam bergaul di masyarakat.
Jangan lupa, Rasulullah saw. juga adalah seorang politikus dan negarawan ulung. Ketajaman analisis politik beliau terekam jelas dari bagaimana strategi perubahan masyarakat yang beliau jalankan. Beliau tidak bersedia menerima kekuasaan dari kalangan Quraisy, walaupun suku ini kuat dari sisi posisi politik dan militer, tetapi rapuh dari kekuatan ideologis. Beliau justru menempuh cara yang khas dengan menyatukan kelompok yang tadinya bercerai-berai, Aus dan Khajraz, dengan kekuatan keyakinan ideologi Islam. Kelompok kecil yang tadinya bercerai-berai ini mampu mengalahkan kekuatan Quraisy yang secara fisik lebih kuat. Strategi perubahan kekuasaan ini terbukti sangat canggih dan memiliki kekuatan ideologi yang optiomal.
Muhammad Syeit Khaththab, seorang jenderal dari Irak, dalam bukunya Ar-Rasûl al-Qâ’id (Rasulullah saw. sang panglima) menorehkan strategi peperangan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. Beliau adalah seorang panglima besar bukan hasil warisan atau keturunan. Beliau adalah panglima besar yang berawal dari seorang anak yatim. Suatu prestasi yang tidak pernah terwujud oleh panglima perang sepanjang sejarah.
Rasulullah saw. pada prinsipnya mempunyai dua keistimewaan dibandingkan para panglima perang yang lain di sepanjang zaman dan tempat. Pertama, beliau adalah seorang panglima ‘ishâmi’ (bersih dan terpelihara). Kedua, peperangan-peperangan yang dilakukannya adalah untuk membela dakwah Islam, melindungi kebebasan penyebaran Islam, serta mengokohkan sendi-sendi perdamaian; bukan bermotif permusuhan atau merampas dan menjajah.
Fase perjuangan jenderal agung ini dimulai dari fase konsolidasi, fase mempertahankan akidah, fase ofensif, dan fase stabilisasi. Dengan perkembangan yang sangat logis ini, meningkatlah secara berangsur-angsur posisi panglima ‘ishâmi’ ini dengan kekuatan pendukungnnya dari posisi lemah menjadi kuat; dari posisi defensif menjadi ofensif; kemudian melakukan penyerbuan. Dengan posisi yang amat gemilang itu, Rasulullah saw. mengalahkan semua kehebatan panglima di sepanjang periode sejarah, karena ia berhasil melahirkan suatu kekuatan besar yang memiliki akidah dan tujuan yang satu, dari sesuatu yang tidak terwujud sebelumnya.
Rasulullah saw. juga adalah seorang hakim (qâdhî) yang adil dalam berbagai keputusan pengadilan. Ketika beliau melakukan ‘sidak’ ke pasar, beliau melihat pelaku pasar melakukan kecurangan, yakni dengan meletakkan barang basah di bawah, di atasnya barang yang baik dan kering untuk memberatkan timbangan. Ini tentu akan merugikan konsumen. Kemudian Rasul memasukkan tangannya untuk mengecek kecurangan ini, lalu beliau bersabda (yang artinya), "Bukan tergolong ummatku orang yang melakukan penipuan terhadap kami."
Keadilan beliau juga jelas pada khutbah beliau (yang artinya), "Siapa yang pernah hartanya aku ambil, inilah hartaku, maka ambillah. Siapa yang punggungnya pernah aku cambuk, maka sekarang cambuklah punggungku atau qishâsh-lah."
Sebagai seorang ekonom, beliau bisa kita contoh dari sisi mikro maupun makro. Rasulullah saw. menjadi orang terpercaya di Makkah. Meskipun orang Makkah memusuhi beliau sebagai rasul, secara pribadi keamanahan beliau diakui. Beliau adalah tempat menyimpan wadiah (titipan). Pondasi ekonomi secara mikro adalah kepercayaan. Ketika hijrah, titipan dikembalikan semua. Secara makro, sistem ekonomi yang beliau bangun adalah sistem ekonomi yang memberikan kemakmuran real secara individual, bukan kemakmuran semu seperti yang ada pada sistem kapitalis.
Kesimpulan
Cara mencintai dan mengagungkan Rasulullah saw. adalah dengan meneladani Rasulullah saw. secara total, tidak boleh secara parsial. Satu-satunya cara untuk mewujudkan tujuan agung di atas adalah dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam secara total di bumi ini. Wallâhu a’lam. d
Sabtu, 11 April 2009
METODE MENCINTAI NABI SAW.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar