Sabtu, 04 April 2009

MENUJU KEBANGKITAN HAKIKI INDONESIA


MENUJU KEBANGKITAN HAKIKI INDONESIA
Oleh: kamil @bdullah
A. Pengertian Kebangkitan
Kebangkitan adalah perpindahan umat, bangsa atau individu dari suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik. (Hafizh Shalih, An-Nahdhah, h. 13).
Penampakan kebangkitan yang paling mudah dilihat adalah perubahan perilaku. Kebangkitan individu ’Umar bin Al-Khaththab ra, misalnya, tampak pada perubahan perilaku beliau, dari perilaku memusuhi Nabi saw berubah menjadi pembela utama Rasulullah saw.
Mengapa terjadi perubahan perilaku pada diri ’Umar ra? Perubahan perilaku itu didahului oleh perubahan mafahim/ persepsi dalam diri beliau. Perilaku memusuhi Nabi saw muncul karena adanya ”persepsi kebencian” (mafhumul bughdhi) ’Umar terhadap Muhammad saw. Sebaliknya, perilaku pembelaan terhadap Rasulullah saw karena dorongan ”persepsi kecintaan” (mafhumul hubbi) ’Umar ra kepada manusia paling mulia ini.
Lalu, mengapa terjadi perubahan persepsi, dari ”persepsi kebencian” menjadi ”persepsi kecintaan”? Persepsi/mafahim dibentuk oleh pemikiran/ fikrah. Fikrah Jahiliyyah menyatakan: ”Muhammad adalah tukang sihir, dukun dan ahli sya’ir. Karena itu jangan dekat-dekat dengannya, kalian bisa kena sihir, kena tenung, dan terpengaruh oleh kata-kata atau mantera-manteranya yang memukau, sehingga kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian!”
Fikrah/ pemikiran semacam ini akan membentuk ”persepsi kebencian” yang kemudian memunculkan perilaku permusuhan terhadap Muhammad saw.
Ketika terjadi perubahan pemikiran, dari ”fikrah Jahiliyyah” ke ”fikrah Islamiyyah” dalam diri seseorang, maka akan berubah pula persepsi/ mafahimnya, lalu disusul oleh perubahan tingkah lakunya.
Fikrah Islamiyyah menyatakan: ”Muhammad adalah Nabi, Rasul, utusan Allah. Karena itu, ikuti semua tuntunan dan ajarannya agar hidupmu terarah dan penuh berkah dalam naungan kasih sayang Allah dan ampunan-Nya.” Fikrah/ pemikiran ini akan membentuk ”persepsi kecintaan” pada Rasulullah saw. Dan selanjutnya mampu mengkristalkan perilaku cinta yang melebihi cinta seseorang pada orang tua, anak, istri, bahkan pada dirinya sendiri dan seluruh umat manusia. Ini kebangkitan pada individu.
Proses kebangkitan pada umat atau bangsa juga mengikuti alur perubahan yang sama, dari pemikiran, persepsi kemudian perilaku.
Dalam sejarah kebangkitan bangsa Indonesia, misalnya, pada diri para Syuhada` pejuang kemerdekaan telah tertanam fikrah Islamiyyah. Diantaranya adalah ”fikrah Jihad” sebagai konsekuensi dari keimanan mereka. Allah SWT berfirman:
          
”Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. At-Taubah [9]: 88)
Fikrah ”Jihad” ini membentuk ”persepsi anti-penjajahan” dan menggerakkan mereka untuk ”bangkit” mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Sebaliknya, kalau yang tertanam fikrah ”Jahat”, maka yang muncul justru persepsi ”pro-penjajah” yang melahirkan perilaku antek, menjilat penjajah, menjual bangsa, mengkhianati umat.
Jadi untuk bangkit melawan penjajah, harus ada ”peningkatan taraf berpikir” dari fikrah ”Jahat” ke fikrah ”Jihad”, agar persepsi ”pro-penjajah” berubah menjadi ”anti-penjajahan”, dan mengubah perilaku ”mendiamkan penjajahan” menjadi perilaku bangkit ”mengusir penjajah”. Di sinilah arti pentingnya ”peningkatan taraf berpikir” dalam proses kebangkitan. Oleh karena itu, dalam kitab Hadits Ash-Shiyam kebangkitan juga didefinisikan sebagai ”al-irtifa’ul fikriy”/ peningkatan taraf berpikir. (An-Nabhaniy, Hadits Ash-Shiyam, h. 1). Dengan peningkatan taraf berfikir, mafahim/ persepsi mereka meningkat, dan membuahkan perubahan perilaku yang mewujudkan keadaan baru yang lebih baik. Allah SWT berfirman:
       
”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”. (TQS. Ar-Ra’du [13]: 11)
B. Dasar/ Pondasi Kebangkitan
Setiap bangunan memerlukan pondasi. Tanpa pondasi, bangunan akan mudah roboh. Demikian pula dengan kebangkitan.
Alur perubahan dari pemikiran, persepsi kemudian perilaku, menunjukkan bahwa perilaku dan mafahim bukanlah dasar kebangkitan. Fikrah-lah yang merupakan pondasi kebangkitan.
Apa dasar/ pondasi yang kuat, agar bangunan kebangkitan berdiri kokoh?
Pada tataran individu, kita melihat individu yang ”bangkit” adalah orang yang ”tegar, yakin dan mantap” menjalani hidup. Sementara individu yang ”tidak bangkit” akan terlihat ”rapuh, ragu dan gamang” mengarungi kehidupan.
Mengapa ada perbedaan sangat mencolok antara keduanya?
Seseorang bisa menjalani hidup dengan ”tegar, yakin dan mantap” karena ia telah menemukan jati dirinya. Penemuan jati diri membuatnya ”sadar diri, sadar posisi dan sadar fungsi” dalam peta kehidupan ini. Ia tahu betul bagaimana hidup ini harus dijalani. Inilah yang mendorongnya ”bangkit” dengan ”ketegaran, keyakinan dan kemantapan” diri.
Sedangkan orang yang ”rapuh, ragu dan gamang” mengarungi kehidupan adalah orang yang belum menemukan jati dirinya. Karena itu ia bingung memposisikan dan memfungsikan diri dalam peta kehidupan ini. Ia tidak tahu bagaimana hidup mesti dijalani. Ia menatap kehidupan dengan ”kerapuhan, keraguan dan kegamangan” diri, yang menyebabkan ia tidak bisa bangkit.
Ini berarti, kebangkitan memerlukan landasan fikrah yang bersifat:
1. Mampu mengungkap misteri jati diri manusia; dari mana ihwal asal muasalnya, untuk apa ia hidup di dunia dan kemana tempat kembali setelah ia mati.
2. Mampu melahirkan sistem/ tatanan kehidupan sebagai pedoman bagi manusia untuk menyelesaikan seluruh problematika hidupnya.
Dengan landasan fikrah seperti inilah, seseorang mengalami ”pencerahan” jati diri; sadar diri, sadar posisi, sadar fungsi, siap mengarungi samudera kehidupan dan siap mengatasi semua permasalahan hidup dengan tegar, yakin dan mantap. Sebab ia memiliki dasar/ pondasi yang kuat untuk menegakkan bangunan kebangkitannya yang kokoh.
Pertanyaannya, fikrah apa yang mampu mengungkap misteri jati diri manusia? Jawabnya: Aqidah!
Lalu, aqidah apa yang sanggup melahirkan sistem/ tatanan kehidupan? Jawabnya: Aqidah yang rasional, aqidah yang produktif!
Nah, aqidah rasional yang memancarkan sistem kehidupan (”’aqidatun ’aqliyyah yanbatsiqu ’anha nizham”) adalah Mabda`/ ideologi (Muhammad Muhammad Isma’il, Al-Fikrul Islamiy, h. 10).
Dalam lintasan sejarah kebangkitan peradaban dunia kita menyaksikan betapa mabda`/ ideologi merupakan ”pondasi kebangkitan” atau ”rahasia kebangkitan” umat atau bangsa.
Arab yang dulu identik dengan kebodohan dan keterbelakangan, ”bangkit” berlandaskan ”Mabda` Islam”, dan berhasil membangun peradaban besar yang agung dan mengendalikan dunia.
Eropa yang semula tengelam dalam masa kegelapan yang panjang, ”bangkit” berdasarkan ”Ideologi Kapitalisme”, dan muncul sebagai kekuatan adidaya.
Rusia juga pernah ”bangkit” di atas ”Ideologi Sosialisme-Komunisme” dan menguasai hampir sepertiga dunia.
Maka tepat sekali jika dikatakan, bahwa keberadaan ”mabda`/ ideologi” pada suatu umat adalah sebab kebangkitannya (Ahmad Al-Qashash, Ususun Nahdhatir Rasyidah, h. 39).
C. Kebangkitan Hakiki: Kebangkitan Yang Shahih
Kebangkitan hakiki/ yang benar tentulah bersumber dari mabda`/ ideologi yang benar. Sedangkan mabda` yang benar berpijak di atas aqidah yang benar.
Kriteria aqidah yang benar adalah memuaskan akal dan sesuai dengan fithrah manusia sehingga memberikan ketenteraman dalam hati (Ususun Nahdhatir Rasyidah, h. 40).
Kebangkitan Islam berdiri di atas aqidah yang sesuai dengan fithrah manusia. Secara fithriy, manusia adalah makhluk yang lemah dan bersifat terbatas. Maka logis menurut akal, bila manusia --dengan segala kelemahan dan keterbatasannya-- membutuhkan tuntunan Allah melalui aturan/ sistem yang telah ditetapkan-Nya untuk mengarungi kehidupan. Rasional dan adil pula, jika nanti di akherat manusia bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan di dunia. Bila ia berbuat sesuai aturan Allah, ia memperoleh pahala, dan jika ia melanggar aturan-Nya layak diberi hukuman.
Kebangkitan Sosialisme-Komunisme bertentangan dengan fithrah manusia, sebab Aqidah Materialisme menyatakan,”La ilah wal hayatu maddah!” (tidak ada Tuhan, kehidupan ini materi belaka!). Ia mengingkari fithrah manusia yang sejak lahir mempunyai kecenderungan menyembah dan mensucikan Sang Pencipta. Ia juga berlawanan dengan akal karena pengingkarannya terhadap keberadaan Sang Pencipta. Padahal alam semesta, manusia dan kehidupan yang semua bersifat terbatas, mustahil menurut akal, ada dengan sendirinya tanpa Pencipta.
Sedangkan kebangkitan Kapitalisme menyalahi fithrah dan akal. Sebab Aqidah Sekularisme (fashluddien ’anil hayah/ pemisahan agama dari kehidupan) menyatakan,”Sesungguhnya Tuhan menciptakan dan menempatkanmu di dunia, lalu Tuhan meninggalkanmu. Dia membiarkanmu mengatur semua urusanmu sesukamu!” Ini bertentangan dengan fithrah, yang di satu sisi melihat dirinya lemah dan terbatas, dan di sisi lain melihat Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur segala sesuatu. Dan tentu tidak masuk di akal, kalau Tuhan yang Maha Pencipta dinilai ”tidak becus” mengatur kehidupan manusia ciptaan-Nya!
Maka sejarah kemudian mencatat, bahwa kebangkitan Sosialisme maupun Kapitalisme yang berlandaskan aqidah yang bathil, tidak lebih dari ”Kebangkitan Semu” yang hanya menimbulkan penderitaan, kesengsaraan dan kenestapaan umat manusia.
Dengan demikian, ”Kebangkitan Hakiki” hanya bisa diraih dengan mabda` yang benar (Mabda` Islam) berasaskan aqidah yang benar (Aqidah Islamiyyah).
Apabila negeri yang mayoritas penduduknya umat Islam ini ingin meraih ”Kebangkitan Hakiki”, maka pilihan satu-satunya adalah ”bangkit” dengan Mabda` Islam!
Jika benar negeri ini ”berdasarkan Ketuhanan”, mengapa ”hukum-hukum Tuhan” disingkirkan dari berbagai aspek kehidupan? Bukankah itu ”sama persis” dengan ”Kebangkitan Kapitalisme-Sekularisme” yang tidak cocok dengan ”jati diri” mayoritas bangsa ini? Allah SWT berfirman:
       
”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Ma-idah [5]: 50).
D. Kebangkitan Yang Diinginkan Dan Upaya Yang Telah Dilakukan
Selama ini jargon kebangkitan yang selalu didengungkan ke telinga rakyat dirangkai dengan berbagai macam kalimat, namun intinya: ”Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”
Ironisnya, upaya yang dilakukan justeru semakin menjauhkan kita dari arah kebangkitan yang dikehendaki. Kalau dulu para Syuhada` pejuang kemerdekaan mengorbankan nyawa dengan semangat Jihad melawan segala bentuk penjajahan, namun apa yang dilakukan oleh para penguasa negeri ini justeru sebaliknya, membiarkan penjajahan-penjajahan dengan wajah baru bercokol dan mencengkeram Indonesia.
Penjajahan ideologi Kapitalisme-Sekularisme berikut ide-ide turunannya merajalela di berbagai bidang kehidupan. Proyek ”sekularisasi” dijalankan sejak dini untuk mengeliminir ”Syari’ah Islam” dari arena kehidupan dan menyisakan Islam hanya tinggal aspek moral dan ritualnya saja.
Kehidupan sekuler menggerogoti keutuhan aqidah dan semakin memudarkan keterikatan pada Syari’ah. Kehidupan sekuler membuat banyak putera-puteri kaum muslimin hanya beriman dan terikat pada Syari’ah tentang ”ibadah ritual”, dan pada saat yang sama ingkar dan meninggalkan hukum-hukum Syari’ah yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Padahal Qur`an mengingatkan bahwa ”iman parsial” semacam ini hanya akan membuahkan kehinaan hidup di dunia dan kesengsaraan di akhirat. Allah SWT berfirman:
                     
”Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 85)
Kehidupan kapitalistik-liberalistik membuat riba dan zina bertebaran di mana-mana. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan riba sebagai tulang punggung perekonomian. Sedangkan sistem sosial yang liberalistik dengan prinsip kebebasan hanya menumbuhsuburkan zina. Padahal Rasulullah saw telah memperingatkan dengan sabdanya
«مَا ظَهَرَ فِي قَوْمٍ الرِّباَ والزِّناَ إِلاَّ أَحَلُّوا بِأَنفُسِهِمْ عِقَابَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»
“Tidaklah riba dan zina merajalela pada suatu bangsa, kecuali bangsa itu telah menghalalkan dirinya untuk ditimpa ’adzab Allah ’Azza waJalla.” (HR. Ahmad).
Di sinilah kita mendapatkan jawaban, mengapa Indonesia begitu akrab dengan krisis multidimensi dan selalu didera bencana yang tiada henti. Apalagi bencana yang terjadi sudah bersifat ”umum” tidak memilih dan memilah korban. Siapapun, mukmin-kafir, shalih-fajir, semua bisa menjadi korban. Artinya, rentetan krisis dan bencana atas kita sebagai bangsa bukanlah ”cobaan”, akan tetapi ”adzab”!
Allah SWT berfirman:
          
”Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (TQS. Al-Anfal [8]: 25).
Realitas ini membuka mata kita semua, bahwa sesungguhnya Indonesia kini tidak sedang meniti jalan ”kebangkitan”, namun sebaliknya, negeri ini tengah meluncur dalam ”kebangkrutan”!
E. Perjuangan HTI Mengentaskan Indonesia Dari “Kebangkrutan”
Perjuangan Hizbut Tahrir diantaranya dinyatakan dalam kitab Ta’rif Hizbit Tahrir adalah ”Inhadhul ummatil islamiyyah minal inhidarisy syadid alladzi washalat ilaihi, watahriruha min afkaril kufri wa-anzhimatihi wa-ahkamihi, wamin saitharatid duwalil kafirati wanufudziha” (membangkitkan umat Islam dari keterpurukan yang sangat parah dan membebaskan mereka dari pemikiran, sistem dan hukum kufur serta hegemoni dan pengaruh negara-negara kafir).
Namun ada sementara pihak yang menuding HTI sebagai gerakan dakwah ”mendunia” tetapi ”tidak mengindonesia”. Benarkah?
Fakta-fakta menunjukkan, perjuangan HTI justeru merupakan upaya memberikan solusi bagi problematika yang tengah dihadapi negeri ini. Misalnya:
1. Komitmen HTI terhadap keutuhan Indonesia.
a. Sejak sebelum Timtim lepas, HTI telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
b. Saat pembicaraan MoU Aceh di Helsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan agar Indonesia jangan berada di bawah ketiak pihak asing. HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan keterlibatan asing dalam percobaan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.
Bahkan seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis.
Bagi HTI, keutuhan wilayah Indonesia itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagi pula disintegrasi Indonesia berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Ini jelas kontraproduktif terhadap gagasan Khilafah yang ingin mewujudkan persatuan umat sebagaimana dikehendaki Syariah (Lihat QS Ali Imran [3]: 103).
2. Dalam konteks ekonomi.
a. HTI sejak lama memperingatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan buku tentang bahaya hutang luar negeri melalui lembaga internasional seperti IMF. Sebab, bagi HTI, hutang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan Syariah (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
b. HTI sudah lama memperingatkan Pemerintah untuk
- tidak menjual BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak;
- tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua;
- mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik dan mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa;
- seharusnya Pemerintah tidak menyerahkan pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile;
- tidak mengesahkan sejumlah UU bernuansa liberal seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal dll yang memberikan keleluasan kepada para kapitalis asing untuk menguras sumberdaya alam negeri ini; dll.
Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan dengan Syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda:
Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi (HR Ibn Majah dan an-Nasa’i).
Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyyuddien an-Nabhaniy (1953) memandang bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Jadi, jika ditanya bagaimana komitmen HTI pada nilai-nilai kebangsaan, maka perlu balik dipertanyakan apa yang dimaksud dengan nilai kebangsaan itu?
Menurut Jubir HTI, jika yang dimaksud adalah komitmen terhadap keutuhan wilayah, HTI secara berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah-belah wilayah Indonesia.
Jika yang dimaksud adalah pembelaan terhadap kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, HTI secara berulang juga dengan lantang menentang sejumlah kebijakan yang jelas-jelas bakal merugikan rakyat Indonesia, seperti protes terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing atau penolakan terhadap sejumlah undang-undang seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal, yang sarat dengan kepentingan pemilik modal.
Namun, jika nilai-nilai kebangsaan itu artinya adalah kesetiaan pada sekularisme, dengan tegas HTI menolaknya, karena justru sekularisme inilah yang telah terbukti membuat Indonesia terpuruk seperti sekarang ini. “Karena itu, benar sekali fatwa MUI pada 2005 yang mengharamkan sekularisme!”
F. Peran HTI Dalam Membangkitkan Indonesia
HTI selama ini telah mengambil peran dalam usaha “membangkitkan Indonesia”. Penegakan Syariah dan Khilafah yang terus diserukan oleh HTI adalah untuk Indonesia menjadi lebih baik.
Dalam konteks Indonesia, Syariah akan menggantikan sekularisme yang terbukti telah mengkibatkan negeri ini terpuruk. Ide Khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkeram Indonesia. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan oleh kekuatan Kapitalisme global bisa dihadapi dengan cara yang sama.
Karena itu, dakwah penerapan Syariah dan Khilafah merupakan bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dan umat Islam terhadap masa depan Indonesia dan upaya meraih kebangkitan hakiki negeri ini agar terlepas dari segala bentuk penjajahan yang ada.
Wallahu a’lamu bishshawab.

1 komentar:

  1. Kita menghendaki kebangkitan yang tidak terbatas pada ibadah dan perbuatan mandub saja. Akan tetapi, kita menghendaki kebangkitan atas hukum-hukum Islam keseluruhan baik dalam pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, hubungan luar negeri, tsaqafah dan pendidikan, politik dalam negeri dan luar negeri dan dalam seluruh urusan umat, baik secara individu, kelompok maupun negara.

    BalasHapus