Minggu, 24 Mei 2009

Hizbut Tahrir: Buku Ilusi Negara Islam Tak Toleran

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menyesalkan terbitnya buku 'Ilusi Negara Islam', Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Buku itu dikritik tidak menghargai demokrasi. "Kita sudah membaca buku itu, buku itu penuh dengan tuduhan tidak berdasar. Dan buku itu justru tidak toleran, kalau kami disebut kelompok fundamentalis, kenapa kebebasan hanya milik mereka," kata juru bicara HTI Ismail Yusanto saat dihubungi melalui telepon, Jumat (22/5/2009).Dalam buku itu, HTI dimasukkan dalam gerakan Islam transnasional yang tergolong garis keras. Selain HTI, buku itu juga memasukkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam gerakan tersebut. Menurut Ismail, penggunaan kata transnasional dianggap terlalu menyudutkan pihaknya. Padahal sekarang ini banyak hal-hal yang berasal dari luar. "Mulai dari makanan sampai ideologi sosialisme, liberalisme, kapitalisme, dan lainnya. Itu juga berasal dari luar," tambahnya.Dia juga menyayangkan kata infiltrasi dalam buku itu yang dituturkan dilakukan HTI ke dalam tubuh Muhammadiyah. "Infiltarsi, mengadung arti buruk, itu juga tidak beralasan. Saya diminta jadi anggota MUI pusat, rekan yang lain ada yang jadi dosen di tempat pendidikan Muhammadiyah, itu profesional, tidak ada infiltrasi," jelasnya.Untuk itu, pihaknya akan meminta penjelasan kepada pihak Wahid Institute dan Maarif Institute. "Kami akan datang baik-baik, menanyakan soal penulisan. Kita hanya meminta penjelasan," tutupnya.Buku Ilusi Negara Islam diterbitkan oleh Wahid Institute dan Maarif Institute. Buku yang diluncurkan 16 Mei 2009 ini mengupas soal masuknya gerakan Islam baru antara lain PKS dan HTI.

Kamis, 07 Mei 2009

Dominasi Yahudi Terhadap Amerika Antara Kenyataan Dan Mitos


Dominasi Yahudi Terhadap Amerika Antara Kenyataan Dan Mitos

Dikalangan masyarakat tersebar opini bahwa loby yahudi sangat kuat, hingga loby tersebut mampu mengendalikan keputusan politik amerika. Opini ini beredar dikalangan politikus dan masyarakat umum hingga seakan akan opini ini adalah sebuah fakta nyata yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Yahudi mampu menguasai kongres dan parlemen apalagi disektor ekonomi dan media massa. Terkadang gambaran dominasi yahudi ini dibesar besarkan seakan yahudi mampu mendominasi segala aspek, hingga tergambar makhluk Allah yang paling hina ini seperti pendekar sakti yang mampu mempengaruhi banyak keputusan bahkan keputusan yang dikeluarkan oleh negara super power sekalipun. Akibat opini ini para penguasa islam merasa lumrah dan maklum untuk tunduk merendah dan kalah di depan yahudi, dan pantas untuk berdamai dan mengakui eksistensi yahudi.
Betul; sudah sewajarnya kita sebagai orang islam selalu mengamati peta perpolitikan. Siapa menguasai siapa, siapa mengendalikan siapa? Yahudi kafir menguasai nasrani kuffar atau sebaliknya? tentu ini kita lakukan dalam rangka mencerdaskan umat sehingga mereka tahu harus berbuat apa. Untuk itulah saya pandang perlu menulis topik ini, apalagi saya lihat banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh kesalahan persepsi ini. Dari pemahaman yang salah tersebut muncul rasa malas, pesimis dan putus asa untuk merubah kondisi mereka agar menjadi lebih baik dari yang sekarang. Di samping itu kaum muslimin sudah mulai bergeser arah perjuangan mereka dengan menyibukkan diri melawan seonggok yahudi dan melupakan musuh mereka yang hakiki yaitu orang orang nasrani, orang orang yang meruntuhkan khilafah, memecah belah umat dan merampas sumber daya alamnya, dan sampai sekarang nasrani ini selalu dan terus menerus membuat rekayasa supaya kehidupan islam kaum muslimin ini tidak bisa kembali muncul. Sebuah kehidupan islam, umat yang satu umat yang dipimpin oleh sebuah negara islam “khilafah islamyah”. Inilah harusnya yang pertamakali diperjuangkan oleh kaum muslimin. Dengan khilafah kaum muslimin akan mampu mencabut kekuasaan yahudi di negeri islam sampai ke akar akarnya. Dan dengannya petunjuk islam bisa tersebar dikalangan masyarakat.
Sesungguhnya orang orang nasrani itu sudah sukses menempatkan yahudi di jantung kaum negeri islam. Sehingga kaum muslimin sibuk dg mainan tersebut, padahal yahudi itu sangat tidak sebanding dg potensi kekuatan kaum muslimin, bahkan juga tak sebanding dg secuil wilayah kaum muslimin. Baik dari sisi SDM, aqidah maupun jumlah pemuda yg siap berjuang. Dari fakta ini kita bisa menggali betapa dominasi yahudi itu sebenarnya adalah sebuah khurofat semata, sampai sampai khurofat ini mampu mencengkeram mayoritas benak kaum muslimin. Apalagi dibumbuhi dg istilah protokoler pemerintahan zionis, ada juga yang namanya pemerintah bayangan yahudi. Dengan adanya itu semua seakan akan yahudi di balik revolusi perancis, yahudi di balik revolusi bolisevic, dibalik munculnya perjanjian belvour, dibalik runtuhnya khilafah, bahkan yahudi dibalik skandal clinton dg lewinski.
Supaya kita tidak terjebak dg kesesatan ini, maka harusnya kita mengamati dg serius dan cermat, apalagi kita ini memiliki pemikiran yang cemerlang. Maka sudah seharusnya kita membahasnya dg obyektif, tdk emosi, tdk terprovokasi. Untuk itu telah terkumpul beberapa data:
ide zionisme ini sebenarnya bukan bagian dari sejarah yahudi international. Ide ini muncul dari barat -eropa tepatnya-, ide ini muncul dan berkembang di lingkungan intelektual nasrani sebelum orang yahudi mengenalnya. mereka –inggris utamanya-memikirkan cara yang tepat untuk memindahkan yahudi dari negeri mereka, untuk itu dimunculkan istilah zionisme. Ini dilakukan bukan karena kecintaan mereka atau rasa kasihan pada yahudi, tapi ini diharapkan jadi jembatan untuk dapat mengusir mereka dari eropa sehingga wilayah mereka bersih dari orang yahudi. Imigran pertama yang disertai herzel bukanlah orang orang yahudi asli. Zionisme ini sesungguhnya adalah hasil pemikiran eropa bukan muncul dari orang orang yahudi, bahkan kebanyakan orang orang yahudi menentang ide ini. Utamanya ide kembali ke palestina. Baik dari sisi keyakinan agama mereka maupun dari sisi sosial, sebab mereka sudah melebur dg masyarakat eropa dan kepentingan kepentingan mereka sudah aman di sana. Apalagi mereka juga berpikir apajadinya mereka jika tinggal dipalestina dan suatu saat kaum muslimin marah pada mereka. Yang suatu hari hal itu pasti terjadi. Sehingga dg mudah mereka akan dihabisi oleh kaum muslimin.
Hubungan antara zionisme yahudi dan penjajah barat adalah untuk kepentingan barat diwilayah islam. Yahudi muncul sebagai kekuatan politik dibarat sebenarnya terbilang baru dan gerakan zionisme yahudi ini bukan bagian dari sejarah yahudi international. Gerakan ini tidak terjadi di yaman atau india atau irak. Gerakan ini hanya muncul di barat saja. Gerakan ini juga tidak muncul di abad pertengahan, namun muncul di akhir abad 19 saja, ketika barat menjajah wilayah wilayah islam. Oleh karena itu ide zionisme ini tidak mendalam di komunitas mereka. Kalaulah bukan karena propaganda barat dalam menisbatkan ide ini pada mereka. Oleh karena itu tidak aneh jika David ben gurion (pakar komunitas yahudi) mengatakan pada muktamar zionis yg ke 19 tahun 1935 bahwa inggris telah berkhianat pada orang orang yahudi.
Ketika amerika muncul jadi penguasa dunia pasca perang dunia ke2 dan dia mulai merasakan enaknya jadi penjajah lalu dia jumpai konstelasi sudah seperti itu. Maka diapun mengmbil peran sebagai pengasuh yahudi. Karena amerika tahu perlunya yahudi bagi dirinya. Saat yang sama orang orang yahudi paham pentingnya bersandar pada amerika, dan bersekutu dg penguasa dunia. Penguasa yang mampu menjamin keamanan mereka. Orang orang yahudi kemudian memindahkan aktivitas dan kantor kantor mereka untuk menjaga keberlangsungan perlindungan tsb.
sesungguhnya penyebaran isu seputar dominasi yahudi atas amerika sudah sedemikian jauh, hingga mempengaruhi sudut pandang banyak orang dalam memposisikan hubungan antara keduanya. Digambarkan israel sebagai institusi negara kekuasaannya berada diatas amerika. Media massa israel dan amerika turut berperan dalam memblow up isu ini. Ini bertujuan agar israel tampak sebagai negara yang kuat yang tak tertandingi. Sehingga penguasa arab dan penguasa negeri negeri islam merasa pantas untuk tunduk dan kalah serta berdamai dan mengakui eksistensi yahudi di palestina. Selanjutnya mereka bisa mengatakan di depan umat mereka bahwa sudah sepatutnya kita tidak melawan mereka, amerika yang kuat saja kalah dengan yahudi.
Dukungan amerika terhadap israel tidak bisa disimpulkan dengan sederhana bahwa ini adalah hasil kuatnya loby yahudi semata. Dikarenakan secara lumrah hubungan dua pihak akan didominasi oleh pihak yang kuat. Dan sudah lumrah pula dia yang paling beruntung dari hubungan tersebut. Disini amerika adalah pihak yang kuat. Dan sudah lumrah pula yang kuat pemegang keputusan akhir dalam setiap keputusan politik. Serta dia pula yang membuat aturan main hubungan ini tanpa menghiraukan kasak kusuk pihak yang lemah.
sesungguhnya isu dominasi yahudi di amerika dibangun atas asumsi yang tidak teliti. Orang yang berpendapat seperti ini menyangka bahwa yahudi yang tinggal di amerika jumlahnya banyak sehingga mampu mendominasi keputusan politik amerika. Orang tersebut juga menyangka seakan akan komunitas yahudi ini satu suara, hingga mampu menekan keputusan kongres. Asumsi ini jelas salah sebab yahudi di amerika bukanlah satu suara. Sebab perkumpulan yahudi itu ratusan bahkan lebih. تحسبهم جميعا وقلوبهم شتى apalagi kebanyakan dari mereka tidak tergabung dalam klub klub yang ada. Sehingga ada rumor bahwa orang orang yahudi itu sebenarnya kebanyakan yahudi “ktp” aja.

Sabtu, 11 April 2009

METODE MENCINTAI NABI SAW.


METODE MENCINTAI NABI SAW.
Islam adalah sebuah agama sekaligus jalan hidup yang unik. Al-Quran dan as-Sunnah, yang menjadi landasan dalam berkehidupan, secara jelas direpresentasikan secara utuh oleh pribadi Rasulullah Muhammad saw. Artinya, Muhammad merupakan gambaran utuh dan praktis tentang Islam. Tidak ada satu pun rangkaian pesan Islam yang tidak direpresentasikan oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Jadilah beliau manusia paling agung sepanjang sejarah penciptaan manusia.
Kemuliaan dan keagungan Rasulullah saw. adalah suatu keniscayaan. Karena itu, mencintai beliau juga merupakan keniscayaan. Kecintaan kepada beliau sejatinya tidak berhenti pada tataran batiniah (kalbu), tetapi harus melampui gerak lahiriah, yaitu dengan mengikuti segenap perilaku beliau dari perkara yang paling sederhana sampai pada perkara yang besar dan rumit. Kecintaan kepada beliau juga tidak boleh diekspresikan sebatas dalam tataran ritual, moral, dan personal semata; ia harus termanifestasikan pula dalam seluruh aspek kehidupan—mencakup bidang ekonomi, pendidikan, sosial, politik, dan kenegaraan. Semua itu harus kita wujudkan sebagai wujud kecintaan dan pengagungan kita kepada beliau.
Pengagungan dan rasa cinta yang parsial kepada Rasulullas saw., yang hanya sebatas pada aspek ritual dan moral, adalah tindakan mengebiri keagungan sosok Rasulullah saw.
Kewajiban Mencintai Nabi saw.
Karena Nabi saw. adalah manusia—bahkan makhluk—teragung, sejatinya kecintaan kepada beliau juga harus menempati kedudukan yang paling tinggi—tentu setelah kecintaan kepada Allah Swt.—dibandingkan dengan kecintaan kepada selain beliau. Dengan kata lain, seseorang belum dikatakan sungguh-sungguh mencintai Rasulullah saw. jika ia masih menomerduakan kecintaan kepada beliau di bawah kecintaan kepada selain beliau.
Namun demikian, bagi seorang Muslim, kecintaan pada semua itu sejatinya tidak mengalahkan kecintaan kepada Rasulullah saw. Artinya, ia akan selalu mendudukkan rasa cintanya kepada Rasulullah pada urutan pertama—tentu setelah rasa cintanya kepada Allah Swt.
Mari kita merenungkan firman Allah Swt. berikut:
Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, dan kaum keluarga kalian; juga harta dan kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kalian sukai adalah lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan (azab)-Nya." Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang fasik. (QS at-Taubah [9]: 24).
Firman Allah di atas sekaligus merupakan dalil bahwa seorang Muslim wajib mendudukkan kecintaan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya pada urutan teratas. Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ini sekaligus menjadi parameter untuk menakar kadar keimanan seorang Muslim.
Lebih dari itu, manisnya iman akan dirasakan seorang Muslim jika dia telah menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada ragam kecintaannya kepada sekelilingnya. Rasulullah saw. telah bersabda:
"Ada tiga perkara, siapa yang memilikinya, ia telah menemukan manisnya iman: (1) orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih daripada yang lainnya; (2) orang yang mencintai seseorang hanya karena Allah; (3) orang yang tidak suka kembali pada kekufuran sebagaimana ia tidak suka dilemparkan ke dalam neraka." (HR Muttafaq ‘alaih).
"Tidak beriman seorang hamba hingga aku lebih ia cintai daripada keluarganya, hartanya, dan seluruh manusia yang lainnya." (HR Muttafaq ‘alaih).
Bahkan, pengampunan dosa dari Allah hanya akan terwujud dengan bersungguh-sungguh mencintai Rasulullah saw., dan kecintaan kepada Allah belum teruji jika manusia tidak sungguh-sungguh mencintai Rasul-Nya. Allah Swt. berfirman:
"Katakanlah, ‘Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian’." (QS Ali Imran [3]: 31).
Kesungguhan dalam mencintai Rasulullah saw. ini telah terpatri kuat dalam pribadi para sahabat. Merekalah orang-orang yang berlomba-lomba dan bersungguh-sungguh mewujudkan kecintaan ini. Secara praktis hal itu diwujudkan dengan cara mengikuti dan meneladani Rasulullah saw., sekaligus dengan menaati seluruh perintahnya dan menjauhi semua larangannya. Hal itu antara lain didasarkan pada firman Allah Swt. berikut:
"Apa saja yang dibawa oleh Rasul untuk kalian, ambillah, dan apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah." (QS al-Hasyr [59]: 7).
Tidaklah yang diucapkan Rasul itu berdasarkan hawa nafsu; sesungguhnya semuanya tidak lain kecuali merupakan wahyu yang diwahyukan kepadanya. (QS an-Najm [53]: 3-4).
Hakikat Mencintai Nabi saw.
Dalam kitab Min Muqawwimât an-Nafsiyyah al-Islâmiyyah yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, al-Azhari berkata, "Arti cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati dan mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya."
Al-Baidhawi berkata, "Cinta adalah keinginan untuk taat."
Al-Zujaj juga berkata, "Cinta manusia kepada Allah dan Rasul-Nya adalah menaati keduanya serta meridhai segala perintah Allah dan segala ajaran yang dibawa Rasulullah saw."
Cinta dalam arti yang dimaksudkan di atas adalah kewajiban. Sebab, mencintai Allah dan Rasul-Nya terikat dengan pengamalan syariat yang telah diwajibkan oleh keduanya. Artinya, ketika seorang Muslim menyatakan bahwa kecintaannya yang tertinggi adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dia wajib untuk mengekspresikan kecintaannya itu dengan meneladani segala perilaku beliau dalam segala aspek kehidupan. Allah Swt. berfirman:
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian. (QS al Ahzab [33]: 21).
Metode Mencintai Nabi saw.
Rasa cinta kepada Rasulullah saw. sangat dangkal kalau hanya diungkapkan dalam acara-acara ritual seperti peringatan mengenang kelahiran beliau. Kecintaan semacam ini tidak bermakna apa-apa jika dalam aspek kehidupan nyata, ajaran yang dibawa oleh beliau justru banyak ditinggalkan. Bagaimana mungkin seseorang dikatakan mencintai Rasulullah, sementara teladan kehidupan real dia ambil dari selain Rasulullah—dalam berekonomi dia meneladani Adam Smith dan David Richardo; dalam berpolitik dia merujuk kepada Machievelli dan Mountesque; dalam kehidupan sosial dan perubahan masyarakat dia mencontoh konsep Karl Marx, Lenin, dan Stalin; dalam pendidikan dan psikologi di berkaca pada teori Sighmund Freud; dst. Padahal, hanya Rasulullahlah yang layak dijadikan teladan pada semua aspek di atas.
Kecintaan dan pengagungan kita kepada Rasulullah saw. mengharuskan kita untuk menyelaraskan semua hal yang terkait dengan pribadi maupun sosial kita dengan tuntunan Rasulullah saw. Meneladani Rasulullah saw. dalam ibadah mahdhah diwujudkan dalam bentuk ketundukan dalam menjalankan dan memelihara shalat—misalnya—sesuai dengan tuntunan beliau. Rasulullah bersabda:
"Shalatlah kalian, sebagaimana aku shalat." (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. adalah sosok yang berakhlak agung dan mulia, yang layak kita tiru. Siti Aisyah ra., ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, beliau menjawab, "Akhlak Rasulullah saw. adalah al-Quran itu sendiri." (HR Muslim dan Abu Dawud).
Perlu dicatat, ada perbedaan mendasar antara akhlak dan moral. Akhlak adalah terminologi Islam dengan landasan niat dari Allah dan Rasul-Nya serta bernilai pahala di sisi-Nya. Sebaliknya, moral bersifat umum, yang dorongannya kadang-kadang dari humanisme yang belum tentu muncul dari perintah Allah dan Rasul-Nya. Sikap moral belum dapat menjamin akan mendapatkan pahala dari Allah dan Rasul-Nya bagi pelakunya.
Kecintaan kita kepada Rasulullah saw. juga harus kita wujudkan dalam cara berpakaian, makan, dan minum kita. Allah dan Rasul-Nya mewajibkan seorang Muslim dan Muslimah untuk berpakaian yang menutup aurat. Aurat bagi laki-laki adalah dari bawah lutut hingga atas pusarnya, sementara aurat seorang wanita adalah seluruh anggota tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangannya. Allah dan Rasul-Nya juga mewajibkan kaum Muslim untuk makan dan minum dari barang yang halal dan baik (thayyib), jika mereka memang mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dalam berkeluarga, selayaknya seorang Muslim menjadikan Rasul sebagai contoh bapak rumah tangga yang baik. Seorang suami adalah pemimpin yang harus melindungi keluarganya dari sengatan api neraka. Sebagai seorang suami, Rasulullah adalah laki-laki yang sangat mencintai dan menyayangi istri-istrinya. Beliau telah menyatakan rasa kecintaan ini pada hadisnya:
"Telah ditanamkan padaku rasa cinta kepada wanita, wewangian, serta dijadikan mataku sejuk terhadap shalat." (HR an-Nasa’i).
Dalam kehidupan sosial, Rasulullah saw. juga wajib kita jadikan teladan. Rasul bukanlah tipe individualis yang hanya memikirkan dirinya sendiri; bukan pula manusia yang suka berdiam di rumah seraya memisahkan diri dengan masyarakat sekitar. Kondisi ini tidak selaras dengan misi beliau sebagai pembawa risalah bagi umat manusia. Beliau bergaul dengan masyarakat dari kalangan atas maupun bawah. Kondisi demikian bisa kita lihat dari kunjungan beliau kepada Ibn Anas bin Malik, juga Qais bin Saad bin Ubadah di rumahnya, lalu beliau bedoa untuk mereka. Beliau juga mengunjungi Rubayyi’ binti Muawwidz ketika Rubayyi’ menikah. Ragam kunjungan beliau ke berbagai lapisan masyarakat seharusnya menjadi teladan kita dalam bergaul di masyarakat.
Jangan lupa, Rasulullah saw. juga adalah seorang politikus dan negarawan ulung. Ketajaman analisis politik beliau terekam jelas dari bagaimana strategi perubahan masyarakat yang beliau jalankan. Beliau tidak bersedia menerima kekuasaan dari kalangan Quraisy, walaupun suku ini kuat dari sisi posisi politik dan militer, tetapi rapuh dari kekuatan ideologis. Beliau justru menempuh cara yang khas dengan menyatukan kelompok yang tadinya bercerai-berai, Aus dan Khajraz, dengan kekuatan keyakinan ideologi Islam. Kelompok kecil yang tadinya bercerai-berai ini mampu mengalahkan kekuatan Quraisy yang secara fisik lebih kuat. Strategi perubahan kekuasaan ini terbukti sangat canggih dan memiliki kekuatan ideologi yang optiomal.
Muhammad Syeit Khaththab, seorang jenderal dari Irak, dalam bukunya Ar-Rasûl al-Qâ’id (Rasulullah saw. sang panglima) menorehkan strategi peperangan yang ditempuh oleh Rasulullah saw. Beliau adalah seorang panglima besar bukan hasil warisan atau keturunan. Beliau adalah panglima besar yang berawal dari seorang anak yatim. Suatu prestasi yang tidak pernah terwujud oleh panglima perang sepanjang sejarah.
Rasulullah saw. pada prinsipnya mempunyai dua keistimewaan dibandingkan para panglima perang yang lain di sepanjang zaman dan tempat. Pertama, beliau adalah seorang panglima ‘ishâmi’ (bersih dan terpelihara). Kedua, peperangan-peperangan yang dilakukannya adalah untuk membela dakwah Islam, melindungi kebebasan penyebaran Islam, serta mengokohkan sendi-sendi perdamaian; bukan bermotif permusuhan atau merampas dan menjajah.
Fase perjuangan jenderal agung ini dimulai dari fase konsolidasi, fase mempertahankan akidah, fase ofensif, dan fase stabilisasi. Dengan perkembangan yang sangat logis ini, meningkatlah secara berangsur-angsur posisi panglima ‘ishâmi’ ini dengan kekuatan pendukungnnya dari posisi lemah menjadi kuat; dari posisi defensif menjadi ofensif; kemudian melakukan penyerbuan. Dengan posisi yang amat gemilang itu, Rasulullah saw. mengalahkan semua kehebatan panglima di sepanjang periode sejarah, karena ia berhasil melahirkan suatu kekuatan besar yang memiliki akidah dan tujuan yang satu, dari sesuatu yang tidak terwujud sebelumnya.
Rasulullah saw. juga adalah seorang hakim (qâdhî) yang adil dalam berbagai keputusan pengadilan. Ketika beliau melakukan ‘sidak’ ke pasar, beliau melihat pelaku pasar melakukan kecurangan, yakni dengan meletakkan barang basah di bawah, di atasnya barang yang baik dan kering untuk memberatkan timbangan. Ini tentu akan merugikan konsumen. Kemudian Rasul memasukkan tangannya untuk mengecek kecurangan ini, lalu beliau bersabda (yang artinya), "Bukan tergolong ummatku orang yang melakukan penipuan terhadap kami."
Keadilan beliau juga jelas pada khutbah beliau (yang artinya), "Siapa yang pernah hartanya aku ambil, inilah hartaku, maka ambillah. Siapa yang punggungnya pernah aku cambuk, maka sekarang cambuklah punggungku atau qishâsh-lah."
Sebagai seorang ekonom, beliau bisa kita contoh dari sisi mikro maupun makro. Rasulullah saw. menjadi orang terpercaya di Makkah. Meskipun orang Makkah memusuhi beliau sebagai rasul, secara pribadi keamanahan beliau diakui. Beliau adalah tempat menyimpan wadiah (titipan). Pondasi ekonomi secara mikro adalah kepercayaan. Ketika hijrah, titipan dikembalikan semua. Secara makro, sistem ekonomi yang beliau bangun adalah sistem ekonomi yang memberikan kemakmuran real secara individual, bukan kemakmuran semu seperti yang ada pada sistem kapitalis.
Kesimpulan
Cara mencintai dan mengagungkan Rasulullah saw. adalah dengan meneladani Rasulullah saw. secara total, tidak boleh secara parsial. Satu-satunya cara untuk mewujudkan tujuan agung di atas adalah dengan melangsungkan kembali kehidupan Islam secara total di bumi ini. Wallâhu a’lam. d

Selasa, 07 April 2009

Pentingnya Negara Dalam Menegakkan Syariah Islam



Pentingnya Negara Dalam Menegakkan Syariah Islam
Pentingnya Negara Dalam Menegakkan Syariah Islam Sebagaimana yang diberitakan Republika online (24/02/2008), Ketua umum Dewan Syuro DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyatakan partai yang dipimpinnya juga ingin menegakkan “syariah” (hukum agama) Islam. “Tapi, syariah Islam itu ditegakkan tanpa negara Islam. Selama ini, saya jumatan (salat Jumat) atau puasa Ramadhan bukan karena UU,” katanya di hadapan belasan ribu massa PKB se-Jatim seperti dilaporkan Antara di Surabaya, Ahad.
Menurut mantan presiden itu, para fundamentalis menilai penegakan syariah tanpa negara Islam itu merupakan pelanggaran terhadap Islam, padahal itu justru menunjukkan mereka tidak paham tata negara. “Negara kita bukan milik satu orang atau sekelompok orang, tapi milik bersama, karena itu NU sejak Muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935 sudah menegaskan bahwa mendirikan negara Islam itu tidak wajib,” katanya.
Pernyataan seperti ini memang sering kita dengar untuk menolak kewajiban penegakan syariah oleh negara. Dimunculkan anggapan syariah Islam bisa ditegakkan tanpa melalui negara Islam. Termasuk anggapan tidak memungkinkan penegakan syariah Islam di Indonesia, karena Indonesia merupakan negara yang plural , terdiri dari berbagai agama, suku, dan bangsa.
Yang penting kita luruskan dahulu adalah syariah Islam seperti apa yang wajib kita tegakkan. Tentu saja syariah Islam yang menyeluruh, bukan parsial. Kita wajib menegakkan seluruh syariah Islam, bukan hanya kewajiban ibadah mahdoh seperti sholat, shaum atau haji. Tapi juga syariah Islam yang mengatur aspek mua’amalah seperti ekonomi, pemerintahan, pendidikan, sistem sosial,sanksi pidana dll.
Untuk penerapan syariah Islam secara menyeluruh mutlak membutuhkan negara yang didasarkan pada Islam . Memang ada hukum-hukum yang bisa kita laksanakan, meskipun dalam negara sekuler sekarang, seperti melaksanakan sholat, shaum , zakat dan menunaikan ibadah haji. Akan tetapi banyak hukum lain yang membutuhkan negara untuk menerapkannya. Sebagai contoh, siapa yang akan menjatuhkan sanksi bagi orang yang tidak sholat ? atau menjatuhkan sanksi bagi yang di depan umum di siang hari seorang muslim di bulan ramadhan makan dan minum tanpa alasan syar’i ? Jelas dalam hal ini negara menjadi penting.
Dalam sistem sekuler seperti sekarang, memang kita bisa menunaikan kewajiban zakat. Namun siapa yang akan memberikan sanksi bagi mereka yang tidak mau menunaikan zakat, padahal dia sudah memenuhi nishab dan haulnya ? Disinilah peran negara untuk memberikan sanksi bagi yang melanggar syariat Islam. Termasuk dalam hal ini adalah untuk menerapkan hukuman qishos bagi pembunuh, rajam bagi pezina, potong tangan bagi pencuri, tentu membutuhkan negara untuk menerapkannya.Yang mengadilinya haruslah pengadilan negara, bukan pengadilan jalanan.
Berkaitan dengan kewajiban negara untuk menjatuhkan sanksi ini tidak ada hubungan dengan apakah yang dijatuhkan sanksi ikhlas atau tidak. Kewajiban negara adalah menjatuhkan hukuman bagi para pencuri , pezina, atau pembunuh, negara tidak perlu menanyakan kepadanya apakah dia ikhlas atau tidak menerima hukuman itu. Adapun bagi terpidana yang dijatuhi hukuman, kalau dia ikhlas menerimanya, hukuman itu akan mengugurkan dosanya. Namun, sekali lagi hukuman tetap diterapkan lepas dari apakah terhukum ikhlas atau tidak. Karena memang, berkaitan dengan hukuman negara pastilah bersifat memaksa.
Kebutuhan mutlak negara Islam, tampak jelas untuk menerapkan syariah Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Tentunya adalah wewenang negara untuk menerapkan mata uang apa yang berlaku di sebuah negara. Dalam daulah Khilafah Islam negara akan menetapkan mata uang yang berlaku adalah mata uang emas dan perak (dinar dan dirham). Bisa kita bayangkan kalau dalam satu negara banyak mata uang yang berlaku berdasarkan kelompok atau individu.
Termasuk dalam hal menerapkan hukum Islam dalam masalah pemilikan (al milkiyah). Sebagai contoh, untuk menetapkan bahwa dalam pemilikan umum (al milkiyah ‘amah) seperti air, listrik, tambang emas, minyak, tidak boleh dimiliki oleh inidividu, swasta, atau asing. Negara Khilafah pun nantinya akan melarang investas asing dalam bidang strategis seperti pemilikan umum. Jelas perlu peran negara. Negaralah yang mengawasi penerapan hukum itu dan menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar.
Mungkin ada yang beragumentasi, memang kita butuh negara, tapi tidak harus negara Islam. Justru, bagi yang berpendapat seperti ini pantas kita pertanyakan pengetahuan tata negaranya. Sebab sudah sangat jelas, dasar negara akan menentukan hukum negara dan kebijakan negara. Sebuah negara yang berasas komunisme, tentu saja hukum yang berlaku hukum komunisme, demikian juga kebijakan negara. Sama halnya sebuah negara yang berasas sekuler kapitalisme, tentu hukum yang berlaku hukum sekuler dan kebijakan yang sejalan dengan kapitalisme. Karena itu, adalah mustahil menginginkan penerapan syariah Islam secara menyuluruh (bukan hanya individu), kalau asas negaranya komunis atau sekuler- kapitalis. Tidak mengherankan dalam masalah tata negara, kedaulatan ditangan siapa akan sangat menentukan bentuk, dan arah sebuah negara.
Penerapan syariah Islam oleh negara, bukan berarti bahwa negara Khilafah hanyalah untuk kelompok tertentu atau orang tertentu saja. Daulah Islam Madinah yang dipimpin oleh Rosulullah merupakan bukti yang gamblang. Saat itu meskipun yang berlaku adalah hukum Islam, masyarakat Madinah bukanlah homogen, hanya muslim saja. Disana terdapat orang Yahudi, Musyrik, dan berbagai kabilah. Bisa disebut sepanjang sejarah kekhilafahan yang menerapkan syariah Islam, tidak pernah ada masa dimana seluruh penduduknya beragama Islam.
Khilafah Islam yang terbentang melintasi benua tentu akan mengumpulkan berbagai bangsa , warna kulit, agama dan keyakinan. Seperti yang disampaikan Carleton: Peradaban Islam merupakan peradaban terbesar di dunia. Peradaban Islam sanggup menciptakan negara adi daya dunia (superstate) terbentang dari satu samudera ke samudera yang lain; dari iklim utara hingga tropis dengan ratusan juta orang di dalamnya , dengan perbedaan kepercayaan dan suku (Carleton : “Technology, Business, and Our Way of Life: What Next)
Kekuasaan Daulah Khilafah Islam menyebar mulai dari jazirah Arab, Persia, India , Kaukasus, hingga mencapai perbatasan Cina dan Rusia. Membebaskan Syam bagian Utara , Mesir, Afrika Utara, Spanyol, Anatolia, Balkan, Eropa Selatan dan Timur, hingga digerbang Wina di Australia.Meingintegrasikan kawasan beragama Kristen ( Byzentium, Ethiopia, Kipti Mesir, Syam dan Bushra); Majusi-Zoroaster (Persia, Bahrain, Oman, Yamamah,Yaman), confusius (China) dan Hindu (India). Mengintegrasikan berbagai ras, suku, dan warna kulit : semetik (Arab, Syriani, Kaldean), Hametik (Mesir, Nubia, Berber dan Sudan); Aria (Parsia, Yunani, Spanyol dan India), Tourani (Turki dan Tartar)
Hal ini gampang dipahami, sebab syariah Islam bukanlah hanya untuk orang Islam, tapi manusia. Islam sebagai rahmat lil ‘alamin, artinya Islam untuk seluruh manusia (lihat tafsir Fathul Qadhir). Karena itu , Daulah Khilafah saat menjalankan kebijakannya, tidaklah melihat suku, bangsa, atau agamanya. Siapapun mereka kalau menjadi warga negera daulah Khilafah akan dijamin terpenuhi kebutuhan pokoknya, dijamin pendidikan dan kesehatan gratis. Siapapun warga negaranya akan dijamin keamanannya oleh negara Khilafah. Warga non muslim pun dibolehkan beribadah menurut agamanya, makan, minum, dan menikah berdasarkan keyakinan agamanya. Namun, dalam masalah publik mereka harus tunduk kepada hukum negara yang berdasarkan syariah Islam.
Mengingat pentingnya Khilafah ini, wajar kemudian kalau ulama-ulama dan pemimpin umat Islam terdahulu segera bereaksi saat Khilafah Islam diruntuhkan tahun 1924. Pemimpin Syarikat Islam (SI ) HOS COKROAMINOTO mengatakan Khilafah adalah hak bersama muslimin bukan dominasi bangsa tertentu, karenanya, bila umat tidak memiliki Khilafah, seperti badan tidak berkepala .
Di Indonesia bahkan dibentuk komite Khilafah yang berpusat di Surabaya. Komite ini diketuai Wondoamiseno dari Syarikat Islam dan KH Abdul Wahab Hasbullah (yang kemudian mendirikan NU). Pada 13-19 mei 1926 kongres dunia Islam di Kairo ; utusan dari Indonesia H. Abdullah Ahmad, H. Rosul (tokoh Sumatera). Sementara itu pada 1 Juni 1926 : kongres Khilafah di Makkah utusan Indonesia: HOS Cokroaminoto (SI) , KH Mas Mansur (Muhammadiyah) . Dan Tahun 1927: kongres Khilafah di Makkah utusan Indonesia H. Agus Salim. Semua ini dilakukan para pemimpin dan ulama kita mengingat semuanya menyadari bahwa Khilafah adalah persoalan penting.
Sejarah Khilafah tentu saja tidak cemerlang semua, ada pasang surut, ada kholifah yang menyimpang disamping banyak kholifah yang lurus. Sebab sistem Khilafah dipimpin oleh Kholifah yang juga manusia. Namun menutupi kecemerlangan sejarah Khilafah yang luar biasa, jelas adalah kebohongan yang juga luar biasa. Kutipan ini penting untuk kita renungi: ” Para Kholifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan usaha keras mereka. Para Kholifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapapun yang memerlukannya dan meratakan kesejahteraan selama berabad-abad dalam luasan wilayah yang belum pernah tercatatkan lagi fenomena seperti itu setelah masa mereka ” (Will Durant – The Story of Civilization) (Farid Wadjdi)

Sabtu, 04 April 2009

MENUJU KEBANGKITAN HAKIKI INDONESIA


MENUJU KEBANGKITAN HAKIKI INDONESIA
Oleh: kamil @bdullah
A. Pengertian Kebangkitan
Kebangkitan adalah perpindahan umat, bangsa atau individu dari suatu keadaan menuju keadaan yang lebih baik. (Hafizh Shalih, An-Nahdhah, h. 13).
Penampakan kebangkitan yang paling mudah dilihat adalah perubahan perilaku. Kebangkitan individu ’Umar bin Al-Khaththab ra, misalnya, tampak pada perubahan perilaku beliau, dari perilaku memusuhi Nabi saw berubah menjadi pembela utama Rasulullah saw.
Mengapa terjadi perubahan perilaku pada diri ’Umar ra? Perubahan perilaku itu didahului oleh perubahan mafahim/ persepsi dalam diri beliau. Perilaku memusuhi Nabi saw muncul karena adanya ”persepsi kebencian” (mafhumul bughdhi) ’Umar terhadap Muhammad saw. Sebaliknya, perilaku pembelaan terhadap Rasulullah saw karena dorongan ”persepsi kecintaan” (mafhumul hubbi) ’Umar ra kepada manusia paling mulia ini.
Lalu, mengapa terjadi perubahan persepsi, dari ”persepsi kebencian” menjadi ”persepsi kecintaan”? Persepsi/mafahim dibentuk oleh pemikiran/ fikrah. Fikrah Jahiliyyah menyatakan: ”Muhammad adalah tukang sihir, dukun dan ahli sya’ir. Karena itu jangan dekat-dekat dengannya, kalian bisa kena sihir, kena tenung, dan terpengaruh oleh kata-kata atau mantera-manteranya yang memukau, sehingga kalian meninggalkan agama nenek moyang kalian!”
Fikrah/ pemikiran semacam ini akan membentuk ”persepsi kebencian” yang kemudian memunculkan perilaku permusuhan terhadap Muhammad saw.
Ketika terjadi perubahan pemikiran, dari ”fikrah Jahiliyyah” ke ”fikrah Islamiyyah” dalam diri seseorang, maka akan berubah pula persepsi/ mafahimnya, lalu disusul oleh perubahan tingkah lakunya.
Fikrah Islamiyyah menyatakan: ”Muhammad adalah Nabi, Rasul, utusan Allah. Karena itu, ikuti semua tuntunan dan ajarannya agar hidupmu terarah dan penuh berkah dalam naungan kasih sayang Allah dan ampunan-Nya.” Fikrah/ pemikiran ini akan membentuk ”persepsi kecintaan” pada Rasulullah saw. Dan selanjutnya mampu mengkristalkan perilaku cinta yang melebihi cinta seseorang pada orang tua, anak, istri, bahkan pada dirinya sendiri dan seluruh umat manusia. Ini kebangkitan pada individu.
Proses kebangkitan pada umat atau bangsa juga mengikuti alur perubahan yang sama, dari pemikiran, persepsi kemudian perilaku.
Dalam sejarah kebangkitan bangsa Indonesia, misalnya, pada diri para Syuhada` pejuang kemerdekaan telah tertanam fikrah Islamiyyah. Diantaranya adalah ”fikrah Jihad” sebagai konsekuensi dari keimanan mereka. Allah SWT berfirman:
          
”Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, mereka berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. At-Taubah [9]: 88)
Fikrah ”Jihad” ini membentuk ”persepsi anti-penjajahan” dan menggerakkan mereka untuk ”bangkit” mengusir penjajah dari bumi Nusantara. Sebaliknya, kalau yang tertanam fikrah ”Jahat”, maka yang muncul justru persepsi ”pro-penjajah” yang melahirkan perilaku antek, menjilat penjajah, menjual bangsa, mengkhianati umat.
Jadi untuk bangkit melawan penjajah, harus ada ”peningkatan taraf berpikir” dari fikrah ”Jahat” ke fikrah ”Jihad”, agar persepsi ”pro-penjajah” berubah menjadi ”anti-penjajahan”, dan mengubah perilaku ”mendiamkan penjajahan” menjadi perilaku bangkit ”mengusir penjajah”. Di sinilah arti pentingnya ”peningkatan taraf berpikir” dalam proses kebangkitan. Oleh karena itu, dalam kitab Hadits Ash-Shiyam kebangkitan juga didefinisikan sebagai ”al-irtifa’ul fikriy”/ peningkatan taraf berpikir. (An-Nabhaniy, Hadits Ash-Shiyam, h. 1). Dengan peningkatan taraf berfikir, mafahim/ persepsi mereka meningkat, dan membuahkan perubahan perilaku yang mewujudkan keadaan baru yang lebih baik. Allah SWT berfirman:
       
”Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri”. (TQS. Ar-Ra’du [13]: 11)
B. Dasar/ Pondasi Kebangkitan
Setiap bangunan memerlukan pondasi. Tanpa pondasi, bangunan akan mudah roboh. Demikian pula dengan kebangkitan.
Alur perubahan dari pemikiran, persepsi kemudian perilaku, menunjukkan bahwa perilaku dan mafahim bukanlah dasar kebangkitan. Fikrah-lah yang merupakan pondasi kebangkitan.
Apa dasar/ pondasi yang kuat, agar bangunan kebangkitan berdiri kokoh?
Pada tataran individu, kita melihat individu yang ”bangkit” adalah orang yang ”tegar, yakin dan mantap” menjalani hidup. Sementara individu yang ”tidak bangkit” akan terlihat ”rapuh, ragu dan gamang” mengarungi kehidupan.
Mengapa ada perbedaan sangat mencolok antara keduanya?
Seseorang bisa menjalani hidup dengan ”tegar, yakin dan mantap” karena ia telah menemukan jati dirinya. Penemuan jati diri membuatnya ”sadar diri, sadar posisi dan sadar fungsi” dalam peta kehidupan ini. Ia tahu betul bagaimana hidup ini harus dijalani. Inilah yang mendorongnya ”bangkit” dengan ”ketegaran, keyakinan dan kemantapan” diri.
Sedangkan orang yang ”rapuh, ragu dan gamang” mengarungi kehidupan adalah orang yang belum menemukan jati dirinya. Karena itu ia bingung memposisikan dan memfungsikan diri dalam peta kehidupan ini. Ia tidak tahu bagaimana hidup mesti dijalani. Ia menatap kehidupan dengan ”kerapuhan, keraguan dan kegamangan” diri, yang menyebabkan ia tidak bisa bangkit.
Ini berarti, kebangkitan memerlukan landasan fikrah yang bersifat:
1. Mampu mengungkap misteri jati diri manusia; dari mana ihwal asal muasalnya, untuk apa ia hidup di dunia dan kemana tempat kembali setelah ia mati.
2. Mampu melahirkan sistem/ tatanan kehidupan sebagai pedoman bagi manusia untuk menyelesaikan seluruh problematika hidupnya.
Dengan landasan fikrah seperti inilah, seseorang mengalami ”pencerahan” jati diri; sadar diri, sadar posisi, sadar fungsi, siap mengarungi samudera kehidupan dan siap mengatasi semua permasalahan hidup dengan tegar, yakin dan mantap. Sebab ia memiliki dasar/ pondasi yang kuat untuk menegakkan bangunan kebangkitannya yang kokoh.
Pertanyaannya, fikrah apa yang mampu mengungkap misteri jati diri manusia? Jawabnya: Aqidah!
Lalu, aqidah apa yang sanggup melahirkan sistem/ tatanan kehidupan? Jawabnya: Aqidah yang rasional, aqidah yang produktif!
Nah, aqidah rasional yang memancarkan sistem kehidupan (”’aqidatun ’aqliyyah yanbatsiqu ’anha nizham”) adalah Mabda`/ ideologi (Muhammad Muhammad Isma’il, Al-Fikrul Islamiy, h. 10).
Dalam lintasan sejarah kebangkitan peradaban dunia kita menyaksikan betapa mabda`/ ideologi merupakan ”pondasi kebangkitan” atau ”rahasia kebangkitan” umat atau bangsa.
Arab yang dulu identik dengan kebodohan dan keterbelakangan, ”bangkit” berlandaskan ”Mabda` Islam”, dan berhasil membangun peradaban besar yang agung dan mengendalikan dunia.
Eropa yang semula tengelam dalam masa kegelapan yang panjang, ”bangkit” berdasarkan ”Ideologi Kapitalisme”, dan muncul sebagai kekuatan adidaya.
Rusia juga pernah ”bangkit” di atas ”Ideologi Sosialisme-Komunisme” dan menguasai hampir sepertiga dunia.
Maka tepat sekali jika dikatakan, bahwa keberadaan ”mabda`/ ideologi” pada suatu umat adalah sebab kebangkitannya (Ahmad Al-Qashash, Ususun Nahdhatir Rasyidah, h. 39).
C. Kebangkitan Hakiki: Kebangkitan Yang Shahih
Kebangkitan hakiki/ yang benar tentulah bersumber dari mabda`/ ideologi yang benar. Sedangkan mabda` yang benar berpijak di atas aqidah yang benar.
Kriteria aqidah yang benar adalah memuaskan akal dan sesuai dengan fithrah manusia sehingga memberikan ketenteraman dalam hati (Ususun Nahdhatir Rasyidah, h. 40).
Kebangkitan Islam berdiri di atas aqidah yang sesuai dengan fithrah manusia. Secara fithriy, manusia adalah makhluk yang lemah dan bersifat terbatas. Maka logis menurut akal, bila manusia --dengan segala kelemahan dan keterbatasannya-- membutuhkan tuntunan Allah melalui aturan/ sistem yang telah ditetapkan-Nya untuk mengarungi kehidupan. Rasional dan adil pula, jika nanti di akherat manusia bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan di dunia. Bila ia berbuat sesuai aturan Allah, ia memperoleh pahala, dan jika ia melanggar aturan-Nya layak diberi hukuman.
Kebangkitan Sosialisme-Komunisme bertentangan dengan fithrah manusia, sebab Aqidah Materialisme menyatakan,”La ilah wal hayatu maddah!” (tidak ada Tuhan, kehidupan ini materi belaka!). Ia mengingkari fithrah manusia yang sejak lahir mempunyai kecenderungan menyembah dan mensucikan Sang Pencipta. Ia juga berlawanan dengan akal karena pengingkarannya terhadap keberadaan Sang Pencipta. Padahal alam semesta, manusia dan kehidupan yang semua bersifat terbatas, mustahil menurut akal, ada dengan sendirinya tanpa Pencipta.
Sedangkan kebangkitan Kapitalisme menyalahi fithrah dan akal. Sebab Aqidah Sekularisme (fashluddien ’anil hayah/ pemisahan agama dari kehidupan) menyatakan,”Sesungguhnya Tuhan menciptakan dan menempatkanmu di dunia, lalu Tuhan meninggalkanmu. Dia membiarkanmu mengatur semua urusanmu sesukamu!” Ini bertentangan dengan fithrah, yang di satu sisi melihat dirinya lemah dan terbatas, dan di sisi lain melihat Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur segala sesuatu. Dan tentu tidak masuk di akal, kalau Tuhan yang Maha Pencipta dinilai ”tidak becus” mengatur kehidupan manusia ciptaan-Nya!
Maka sejarah kemudian mencatat, bahwa kebangkitan Sosialisme maupun Kapitalisme yang berlandaskan aqidah yang bathil, tidak lebih dari ”Kebangkitan Semu” yang hanya menimbulkan penderitaan, kesengsaraan dan kenestapaan umat manusia.
Dengan demikian, ”Kebangkitan Hakiki” hanya bisa diraih dengan mabda` yang benar (Mabda` Islam) berasaskan aqidah yang benar (Aqidah Islamiyyah).
Apabila negeri yang mayoritas penduduknya umat Islam ini ingin meraih ”Kebangkitan Hakiki”, maka pilihan satu-satunya adalah ”bangkit” dengan Mabda` Islam!
Jika benar negeri ini ”berdasarkan Ketuhanan”, mengapa ”hukum-hukum Tuhan” disingkirkan dari berbagai aspek kehidupan? Bukankah itu ”sama persis” dengan ”Kebangkitan Kapitalisme-Sekularisme” yang tidak cocok dengan ”jati diri” mayoritas bangsa ini? Allah SWT berfirman:
       
”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Ma-idah [5]: 50).
D. Kebangkitan Yang Diinginkan Dan Upaya Yang Telah Dilakukan
Selama ini jargon kebangkitan yang selalu didengungkan ke telinga rakyat dirangkai dengan berbagai macam kalimat, namun intinya: ”Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.”
Ironisnya, upaya yang dilakukan justeru semakin menjauhkan kita dari arah kebangkitan yang dikehendaki. Kalau dulu para Syuhada` pejuang kemerdekaan mengorbankan nyawa dengan semangat Jihad melawan segala bentuk penjajahan, namun apa yang dilakukan oleh para penguasa negeri ini justeru sebaliknya, membiarkan penjajahan-penjajahan dengan wajah baru bercokol dan mencengkeram Indonesia.
Penjajahan ideologi Kapitalisme-Sekularisme berikut ide-ide turunannya merajalela di berbagai bidang kehidupan. Proyek ”sekularisasi” dijalankan sejak dini untuk mengeliminir ”Syari’ah Islam” dari arena kehidupan dan menyisakan Islam hanya tinggal aspek moral dan ritualnya saja.
Kehidupan sekuler menggerogoti keutuhan aqidah dan semakin memudarkan keterikatan pada Syari’ah. Kehidupan sekuler membuat banyak putera-puteri kaum muslimin hanya beriman dan terikat pada Syari’ah tentang ”ibadah ritual”, dan pada saat yang sama ingkar dan meninggalkan hukum-hukum Syari’ah yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Padahal Qur`an mengingatkan bahwa ”iman parsial” semacam ini hanya akan membuahkan kehinaan hidup di dunia dan kesengsaraan di akhirat. Allah SWT berfirman:
                     
”Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (TQS. Al-Baqarah [2]: 85)
Kehidupan kapitalistik-liberalistik membuat riba dan zina bertebaran di mana-mana. Sistem ekonomi kapitalis menjadikan riba sebagai tulang punggung perekonomian. Sedangkan sistem sosial yang liberalistik dengan prinsip kebebasan hanya menumbuhsuburkan zina. Padahal Rasulullah saw telah memperingatkan dengan sabdanya
«مَا ظَهَرَ فِي قَوْمٍ الرِّباَ والزِّناَ إِلاَّ أَحَلُّوا بِأَنفُسِهِمْ عِقَابَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ»
“Tidaklah riba dan zina merajalela pada suatu bangsa, kecuali bangsa itu telah menghalalkan dirinya untuk ditimpa ’adzab Allah ’Azza waJalla.” (HR. Ahmad).
Di sinilah kita mendapatkan jawaban, mengapa Indonesia begitu akrab dengan krisis multidimensi dan selalu didera bencana yang tiada henti. Apalagi bencana yang terjadi sudah bersifat ”umum” tidak memilih dan memilah korban. Siapapun, mukmin-kafir, shalih-fajir, semua bisa menjadi korban. Artinya, rentetan krisis dan bencana atas kita sebagai bangsa bukanlah ”cobaan”, akan tetapi ”adzab”!
Allah SWT berfirman:
          
”Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (TQS. Al-Anfal [8]: 25).
Realitas ini membuka mata kita semua, bahwa sesungguhnya Indonesia kini tidak sedang meniti jalan ”kebangkitan”, namun sebaliknya, negeri ini tengah meluncur dalam ”kebangkrutan”!
E. Perjuangan HTI Mengentaskan Indonesia Dari “Kebangkrutan”
Perjuangan Hizbut Tahrir diantaranya dinyatakan dalam kitab Ta’rif Hizbit Tahrir adalah ”Inhadhul ummatil islamiyyah minal inhidarisy syadid alladzi washalat ilaihi, watahriruha min afkaril kufri wa-anzhimatihi wa-ahkamihi, wamin saitharatid duwalil kafirati wanufudziha” (membangkitkan umat Islam dari keterpurukan yang sangat parah dan membebaskan mereka dari pemikiran, sistem dan hukum kufur serta hegemoni dan pengaruh negara-negara kafir).
Namun ada sementara pihak yang menuding HTI sebagai gerakan dakwah ”mendunia” tetapi ”tidak mengindonesia”. Benarkah?
Fakta-fakta menunjukkan, perjuangan HTI justeru merupakan upaya memberikan solusi bagi problematika yang tengah dihadapi negeri ini. Misalnya:
1. Komitmen HTI terhadap keutuhan Indonesia.
a. Sejak sebelum Timtim lepas, HTI telah memperingatkan Pemerintah tentang skenario asing yang melibatkan PBB melalui UNAMET, yang menghendaki Timtim lepas dari Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Timtim lepas, HTI pernah menyampaikan kepada media massa bahwa HTI akan mengambil kembali Timtim dan menggabungkannya dengan Indonesia walaupun butuh waktu 25 tahun!
b. Saat pembicaraan MoU Aceh di Helsinki, tatkala kalangan tentara khawatir dengan hasil Perjanjian Helsinki, HTI-lah yang berteriak lantang agar Aceh tidak lepas dari Indonesia dan agar Indonesia jangan berada di bawah ketiak pihak asing. HTI pun secara konsisten terus memperingatkan Pemerintah tentang kemungkinan keterlibatan asing dalam percobaan disintegrasi di wilayah Ambon dengan RMS-nya atau Papua dengan OPM-nya.
Bahkan seorang pejabat militer pernah berujar bahwa ternyata HTI lebih nasionalis daripada organisasi dan partai-partai nasionalis.
Bagi HTI, keutuhan wilayah Indonesia itu final, dalam arti, tidak boleh berkurang sejengkal pun! Lagi pula disintegrasi Indonesia berarti akan semakin menyuburkan perpecahan umat. Ini jelas kontraproduktif terhadap gagasan Khilafah yang ingin mewujudkan persatuan umat sebagaimana dikehendaki Syariah (Lihat QS Ali Imran [3]: 103).
2. Dalam konteks ekonomi.
a. HTI sejak lama memperingatkan bahaya Kapitalisme global. Jauh sebelum krisis ekonomi menimpa bangsa ini sekitar tahun 1998, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan buku tentang bahaya hutang luar negeri melalui lembaga internasional seperti IMF. Sebab, bagi HTI, hutang luar negeri berbasis bunga (riba), di samping haram dalam pandangan Syariah (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 275), juga merupakan alat penjajahan baru untuk mengeksploitasi negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia.
b. HTI sudah lama memperingatkan Pemerintah untuk
- tidak menjual BUMN-BUMN atas nama privatisasi yang mengabaikan kepentingan rakyat banyak;
- tidak memperpanjang kontrak dengan PT Freeport yang telah lama menguras sumberdaya alam secara luar biasa di bumi Papua;
- mencabut HPH dari sejumlah pengusaha yang juga terbukti merugikan kepentingan publik dan mengakibatkan penggundulan hutan yang luar biasa;
- seharusnya Pemerintah tidak menyerahkan pengelolaan kawasan kaya minyak Blok Cepu kepada ExxonMobile;
- tidak mengesahkan sejumlah UU bernuansa liberal seperti UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal dll yang memberikan keleluasan kepada para kapitalis asing untuk menguras sumberdaya alam negeri ini; dll.
Bagi HTI, kebijakan-kebijakan Pemerintah yang terkait dengan sumberdaya alam milik publik ini bertentangan dengan Syariah Islam, karena Nabi saw. pernah bersabda:
Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) atas tiga hal: air, hutan dan energi (HR Ibn Majah dan an-Nasa’i).
Sesuai dengan sabda Nabi saw. ini, pendiri Hizbut Tahrir Syaikh Taqiyyuddien an-Nabhaniy (1953) memandang bahwa seluruh sumberdaya alam yang menguasai hajat publik harus dikelola negara yang seluruh hasilnya diperuntukkan bagi kepentingan rakyat (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 213).
Jadi, jika ditanya bagaimana komitmen HTI pada nilai-nilai kebangsaan, maka perlu balik dipertanyakan apa yang dimaksud dengan nilai kebangsaan itu?
Menurut Jubir HTI, jika yang dimaksud adalah komitmen terhadap keutuhan wilayah, HTI secara berulang menegaskan penentangannya terhadap gerakan separatisme dan segala upaya yang akan memecah-belah wilayah Indonesia.
Jika yang dimaksud adalah pembelaan terhadap kepentingan rakyat dan bangsa Indonesia, HTI secara berulang juga dengan lantang menentang sejumlah kebijakan yang jelas-jelas bakal merugikan rakyat Indonesia, seperti protes terhadap pengelolaan sumberdaya alam yang lebih banyak dilakukan oleh perusahaan asing atau penolakan terhadap sejumlah undang-undang seperti UU Migas, UU Sumber Daya Air, dan UU Penanaman Modal, yang sarat dengan kepentingan pemilik modal.
Namun, jika nilai-nilai kebangsaan itu artinya adalah kesetiaan pada sekularisme, dengan tegas HTI menolaknya, karena justru sekularisme inilah yang telah terbukti membuat Indonesia terpuruk seperti sekarang ini. “Karena itu, benar sekali fatwa MUI pada 2005 yang mengharamkan sekularisme!”
F. Peran HTI Dalam Membangkitkan Indonesia
HTI selama ini telah mengambil peran dalam usaha “membangkitkan Indonesia”. Penegakan Syariah dan Khilafah yang terus diserukan oleh HTI adalah untuk Indonesia menjadi lebih baik.
Dalam konteks Indonesia, Syariah akan menggantikan sekularisme yang terbukti telah mengkibatkan negeri ini terpuruk. Ide Khilafah sebenarnya juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajahan multidimensi yang kini nyata-nyata mencengkeram Indonesia. Hanya melalui kekuatan global, penjajahan oleh kekuatan Kapitalisme global bisa dihadapi dengan cara yang sama.
Karena itu, dakwah penerapan Syariah dan Khilafah merupakan bentuk kepedulian yang amat nyata dari HTI dan umat Islam terhadap masa depan Indonesia dan upaya meraih kebangkitan hakiki negeri ini agar terlepas dari segala bentuk penjajahan yang ada.
Wallahu a’lamu bishshawab.

Minggu, 22 Maret 2009

pentingnya syariah dan khilafah

ketika kita melihat meninjau dan memperhatikan kondisi negara kita saat ini amat lah sangat disayangkan.dengan banyaknya kemiskinan yang dialami negeri ini yang konon kekayaan alam sangatlah melimpah ruah mulai dari hasil laut(ikan,mutiara), hutan(makanan,obat-obatan,binatang yang beranekaragam,dll), hasil bumi(emas,nikel,gas,dll).akan tetapi kemana itu semua dan apakah rakyat telah merasakan hasil itu semua.tentunya tidak karena yang mengolah itu semua bukanlah negara indonesia sendiri justru orang asinglah yang mengelola itu semua.bila kita pikir-pikir apakah bpantas kita yang memiliki kekayaan alam kita yang disuruh untuk bekerja tapi hasilnya dinikmati oleh orang asing.sungguh sangat ironis dimana letak keuntungannya.sepenggal tulisan inilah yang bisa saya sampaikan kepada para pembaca yang budiman.dari semua itu negara masih membanggakan demokrasi dan kapitalis.padahal dengan ini semua tidak ada kemajuan untuk negara melainkan menguntungkan negara yang berkepentingan dengan hal ini.oleh karea itu betapa pentingnya syariah islam di tegakkan sebagaimana pada zaman khulafaurrasidin.